Sore itu kami masih duduk berdua, sambil menanti waktu maghrib. Bukan di istana megah bak raja dan ratu, bukan pula di taman yang dipenuhi bunga-bunga dan keindahan lainnya. Hanya ada ilalang yang menjadi lukisan di depan gubuk kami. Sejauh mata memandang, terlihat gelombang kemuning yang setia menanti.
Dia mengajakku untuk duduk di tengah rerumputan. Aku hanya tersenyum, sebari menatap wajahnya. Sosok yang selama ini menjadi pelengkap hidupku. Sosok yang selalu membuatku tersenyum ditengah sepahit apapun kehidupan ini. Ah, aku tak cukup puitis untuk menceritakan sosoknya. Tapi yang jelas, dialah sang penggenap separuh agamaku.
“Mi….” panggilnya, yang dari tadi tak melepaskan pandangannya ke langit.
Aku pun mendekat dan menyandarkan kepalaku di bahunya.
“Coba lihat langitnya! Indah ya? Udaranya sejuk, pemandangannya juga indah. Abi pasti merindukan semua ini.” Ia mulai menundukkan pandangannya.
“Besok kita masih bisa seperti ini kan Bi?” tanyaku sambil memegang erat tanggannya.
Ia hanya tersenyum, menatap kedua bola mataku yang mulai berkaca-kaca. Lalu ia memijat hidungku sambil berkata, “Jangan cengeng ah! Umi jelek kalau nangis.”
“Tapi Abi yang lebih jelek kalau lagi nangis.” Timpalku seraya bangun dari sandarannya.
“Kalau Abi jelek, kenapa mau nikah sama Abi?” ia pun tertawa
Rasa cinta terkadang tak perlu diungkapkan dengan kata-kata manis, tak perlu dengan pujian, bahkan tak perlu dengan kado yang mahal. Betapa seringpun ia membuatku kesal, namun selalu kuyakin itu adalah bagian dari caranya untuk mengungkapkan rasa cintanya. Aku tak inginkan lebih darinya. Biarkan semuanya berjalan sesederhana mungkin. Karena kami yakin, sesuatu yang sederhana itu akan menjadi kekuatan yang besar.
Rasanya aku tak ingin beranjak. Kala itu aku hanya ingin menghabiskan waktu dengan duduk di sampingnya. Membiarkan angin menerpa tiada henti, hingga senja kian mendekat. Membiarkan langit menyaksikan semuanya. Aku ingin melukis hari ini bersamanya.
“Abi akan kehilangan semuanya Mi.” ungkapnya
“Termasuk Umi?” tanyaku
“Iya. Suatu saat nanti, Mi.”
Aku pun mulai menangis. Entahlah…. Airmata itu sudah tak mampu kubendung sendiri.
“Bukankah semuanya milik Allah? Ketika Allah memintanya kembali, apakah kita berhak menahannya?” lanjut Abi.
“Tapi…….”
“Sssstttt…..!” ia menghentikan pembicaraanku dengan mendekatkan telunjuknya ke bibirku.
“Tak ada yang berubah bahkan berkurang dariku tentang kehadiranmu. Apapun takdir-Nya, kita serahkan semua pada Allah. Allah lebih mengetahui apa yang terbaik untuk kita” Abi mengecup keningku.
Aku membisu, seakan semuanya akan pergi dariku. Aku takut. Ketakutan yang dulu sempat terbersit, kini hadir kembali. Bahkan terasa semakin nyata. Ya Rabb… kuatkan aku… kumohon kuatkan aku.