Aku
mengenalnya bukan dengan pandangan, bukan pula dengan rasa. Aku mengenalnya
dalam dimensi yang tak terduga, tak terjangkau. Entahlah, sudah sampai mana aku
mengenalnya. Dia seolah tak tahu, tapi dia memahami. Dia seolah tak peduli,
tapi dia melindungi. Dia seolah bersikap kasar, tapi dia menyayangi. Candaannya
adalah nasehat tersirat. Tawanya adalah pesan. Ledekannya adalah sebuah
perhatian tersembunyi.
Kadang aku tak
ingin membicarakannya. Tapi mengapa aku selalu ingin menuliskan tentangnya?
Inilah yang tak aku mengerti.
Dia diam,
bukan berarti ingin berhenti. Dia sembunyi, bukan berarti dia menyerah. Dalam
diam, dia berfikir keras. Dalam diam, justru dia yang mampu menenangkan yang
lain. Dia tak pernah ingin melangkah sendiri. Dia tak pernah ingin lebih
tinggi. Dia tak pernah ingin lebih maju sendiri. Justru dia selalu berada di
barisan belakang yang siap memberi dukungan, yang siap menopang, yang siap
dijadikan sandaran dan akan menjadi yang pertama mengulurkan tangan. Jika ia
ingin melangkah, maka ia akan merangkul temannya untuk melangkah bersama. Jika
ia ingin berbuat sesuatu, ia selalu memberi kesempatan pada yang lain. Meski
aku tahu, dia mampu untuk melakukannya sendiri. Dia hebat, tapi tak ingin
terlihat hebat. Dia cerdas, tapi selalu menutupinya dengan lelucon. Dia bijak,
tapi selalu menyembunyikannya dalam gelak tawa. Dia tenang, damai, tapi kadang
dia bisa berontak jika sesuatu mulai mengusik.
Lagi-lagi aku
menuliskan tentangnya, lagi dan lagi. Aku ingin mengakhirinya tapi jemariku
berkata lain. Sudahlah, mungkin semua ini bisa mewakili apa yang ingin
kukatakan padanya.
Dia pernah
berkata jika aku mulai melupakannya, tapi dia sendiri yang melupakanku. Dia
pernah merasa jika aku mulai menjauh, tapi sebenarnya dia sendiri yang menjauh.
Ini bukan tentang siapa yang melupakan dan siapa yang dilupakan. Bukan tentang
siapa yang meninggalkan dan siapa yang ditinggalkan. Bukan pula tentang siapa
yang membutuhkan dan siapa yang dibutuhkan. Entahlah, kisah apa ini namanya?
Kisah pertemanan biasa, kisah persahabatan ataukah kisah cinta?
Aku mengakui
jika ini bukan kisah cinta. Tapi mengapa aku kesal saat dia tak lagi melihatku?
Tapi mengapa aku marah saat dia tak lagi memanggilku dengan sebutan itu? Tapi
mengapa aku sedih saat dia tak lagi mendengarkanku? Tapi mengapa aku resah saat
tak ada kabar darinya? Tapi mengapa aku berontak saat dia tak adil padaku? Tapi
mengapa aku menangis saat dia bersama yang lain?
Sial, mengapa
aku baru menyadarinya sekarang jika aku merindukannya. Kini aku tahu alasannya,
mengapa aku selalu ingin menuliskan tentangnya. Sayang, kini aku telah menjadi
bagian yang hilang dalam hidupnya. Aku telah menjadi kisah terbuang yang belum
sempat diceritakan sampai selesai. Aku hanyalah serpihan memori yang bahkan
belum sempat terekam dengan manis. Aku hanyalah debu yang sempat merusak
pandangannya. Aku hanyalah hembusan yang sempat menggelitik pendengarannya. Aku
hanyalah sebatang pensil yang dibuang sebelum dimiliki. Aku hanyalah pandangan
yang terhalang kabut sebelum disapa cahaya. Aku hanyalah mimpi yang belum
bertemu titik nyata. Aku hanyalah bagian hitam dari beribu cahaya yang
dimilikinya. Aku hanyalah jejak yang terhapus hujan. Aku hanyalah sepucuk surat
yang terbakar sebelum sampai pada tujuannya. Aku hanya sebuah tulisan yang
telah dia hapus, bahkan sebelum aku menuliskannya.
Aku menyerah.
Aku menyerah untuk merindukanmu. Aku menyerah dengan segala keterbatasanku. Aku
menyerah sebelum aku memulai segalanya. Segalanya jika itu tentangmu.