Monday, 23 February 2015

Sepenggal Kisah di Pantai Carita





Sudah berjam-jam aku menaiki kendaraan umum ini dan itu, semakin jauh dari kota Solo menuju kota di ujung barat pulau Jawa ini. Dengan bermodalkan niat, ransel yang setia di punggung dan menenteng kamera, aku memang senang melakukan perjalanan. Aku selalu tertarik dengan kearifan budaya lokal, keunikan masyarakat serta pesona alam yang tercipta dari setiap tempat yang aku kunjungi. Aku selalu tertarik dengan setiap perjalanan yang bisa membawaku pada sisi lain kehidupan. Aku menyukai petualangan. Karena aku sadar, kita takkan selamanya dininabobokan di zona nyaman. Kita harus keluar, kita harus berpetualang agar kita lebih mengenal dunia ini, bukan untuk bersuka ria namun untuk mendekatkan diri dan mengagungi ciptaan-Nya.
“Faris…..!” terdengar seseorang memanggil namaku, sesaat setelah aku turun dari bus. Aku melihat ke arah belakang dan ternyata dugaanku benar.
“Selamat datang di kampung halamanku.” Hadi mendekat dan mengulurkan tangannya. Ini adalah jabatan kedua kami setelah sebelumnya Hadi yang berkunjung ke kota Solo.
“Jadi sekarang kamu akan mengajakku kemana?” tanyaku penasaran
“Sudahlah sekarang kamu istirahat saja dulu di rumahku. Besok kita mulai petualangan kita.”
Akhirnya inilah saatnya menikmati suasana alam di kota ini, Pantai Carita Kabupaten Pandeglang. Ombak laut yang kecil dan lembut menyapu di sepanjang pantai. Sementara itu di ujung sana berdiri kokoh Gunung Krakatau, menjadi suguhan yang begitu teduh dipandang mata. Apalagi saat ini senja menjelang, menambah keanggunan langit dengan jingga yang mempesona.
Aku terus menyusuri pantai Carita seorang diri. Tanpa beban yang menghimpit, tanpa lelah yang saling berkejaran dengan tuntutan, tanpa keluh yang terus bertengkar dengan tujuan. Aku begitu menikmati semilir angin yang menusuk rongga dada, kubiarkan lelahku ikut terhempas deburan ombak. Tapi di sisi lain, aku melihat seseorang yang tengah duduk sambil membawa kertas dan pensil. Aku memperhatikannya dari kejauhan dan mulai menghampirinya.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.” Ia menjawab salamku sambil menunduk malu
“Apa yang kau lakukan disini seorang diri?” tanyaku pelan
“Aku…….. emmm….. aku cuma sedang menikmati pemandangan disini saja.” jelasnya gugup seraya menyembunyikan kertas yang ia pegang.
“Aku Faris.” dengan percaya diri aku mengulurkan tanganku
 “Maaf, aku duluan. Assalamu’alaikum.” dia mengabaikan uluran tanganku
“Wa’alaikumsalam.” jawabku seraya tersenyum
Dia pun berlalu tanpa memperkenalkan dirinya. Riuh angin pun mengantarkan gadis berjilbab itu untuk semakin jauh dariku.
“Woy….. “ Hadi menepuk bahuku dari belakang
“Kenapa senyam-senyum sendiri?” ledek Hadi
“Baru kali ini ada perempuan cantik yang menolak berkenalan dengan Faris.” timpalku
“Ha… ha… makanya jangan kepedean Mas. Udah ditolak baru tahu rasa.”

Esok hari aku memulai kembali penjelajahanku. Banten pada masa dulu adalah kota pelabuhan yang sangat ramai. Tak hanya keindahan pantai yang menjadi daya tarik Banten. Menurutku sejarah dan kebudayaannya tak kalah menarik. Kali ini Hadi mengajakku ke kampung lebak di tepi Cidanghiyang, Kecamatan Munjul, Pandeglang, Banten. Ada apa disana? Disanalah tempat ditemukannya prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanagara, Prasasti Cidanghiyangatau pada tahun 1947.
Petualanganku tak berakhir disini saja. Kakiku terus melangkah semangat menyusuri sepanjang jalan. Lensa kameraku terus membidik objek yang menarik. Hadi pun tak kalah semangat untuk memperkenalkan kebudayaan Banten. Kami sempat berbincang dengan paman Hadi yang saat itu tengah menyaksikan rudat, kesenian tradisional khas Banten yang merupakan perpaduan unsur tari, syair shalawat, yang berpadu dengan tabuhan. Tak hanya itu, Hadi juga mengajakku untuk menyaksikan debus, pencak silat, Ubrug serta tari Dzikir Saman Banten.
“Gimana? Masih belum puas?” tanya Hadi
“Masih ada tempat lain yang lebih menarik?” aku mulai menantangnya
“Sekarang kita menuju ke kaki pegunungan Kendeng. Tapi kamu tidak lelah?”
“Namanya juga hobi Di. Lumayan kan, beberapa hari disini dapet banyak informasi, pengalaman, banyak tulisan dan banyak foto keren juga.” jelasku sambil memperlihatkan kamera
“Ayo naik!” Hadi memberikan salah satu helmnya padaku
Sepanjang perjalanan kami terus berbincang mengenai kota Banten dan kota-kota lain yang pernah kami kunjungi.
“Kamu gila ya. Kamu sempat ngamen karena kehabisan ongkos?” Hadi tertawa
“Iya mau gimana lagi. Daripada gak bisa pulang.” timpalku yang agak berteriak karena suara knalpot motor Hadi semakin terdengar ribut.
Kali ini Hadi mengajakku ke desa Kanekes kaki pegunungan Kendeng. Perjalanan yang cukup melelahkan, sekitar 40km dari kota Rangkasbitung. Yuhu….. bener-bener ini bocah. Dia mengajakku ke pemukiman suku Baduy.
“Rasanya tubuhku lelah.” ucapku sambil merebahkan badan di kamar Hadi, sepulang penjelajahan hari ini.
Hadi yang sedang membuatkan teh sore itu, hanya tersenyum.
“Kenapa Di? Ada yang aneh?” tanyaku heran
“Ternyata kamu bisa capek juga.” Hadi menuangkan tehnya untukku
“Aku juga manusia biasa Di.” Kami menikmati teh sambil duduk di balkon yang menghadap ke pantai
Aku segera menaruh cangkir dan kembali mengambil kamera.
“Hunting foto dulu.” aku bergegas keluar
“Dasar fotografer, kemana-mana selalu membawa kamera. Kapan bawa calon istri?” ledek Hadi seraya tertawa kecil
Kali ini senja perlahan terlukis di kanvas agung Sang Maha Pencipta. Terlihat megah dengan nuansa syahdu menjelang adzan berkumandang. Entah mengapa, aku selalu merindukan senja seperti ini. Ada nuansa tentram yang takkan bisa digambarkan oleh apapun. Bidikan lensaku mulai mengambil beberapa moment indah di senja kali ini. Aku semakin tertarik melihat anak-anak berlarian sepanjang pantai. Beberapa diantara mereka menghampiriku dengan malu dan membujukku untuk memotret mereka. Setelah memenuhi keinginan mereka, aku kembali mencari spot menarik. Tak kusadari, lensaku membidik seorang berjilbab kurasa tak asing lagi bagiku.
“Dik… kesini!” tanganku melambai pada seorang anak yang asyik bermain
“Kamu kenal sama kakak yang duduk disana?” tanyaku
“Oh…. Itu Kak Zahra. Hampir setiap sore dia kesini untuk menggambar Kak. Wah…. Gambarnya bagus banget Kak.”  anak ini terus menceritakan gadis itu dengan begitu semangat. Sesekali ia memuji gadis itu.
Aku semakin tertarik dan penasaran dengan sikap pendiamnya. Aku juga penasaran dengan lukisan-lukisannya. Beberapa kali, aku mengarahkan lensa kameraku padanya. Lalu aku kembali memalingkan pandanganku pada lautan. Saat akan memotret wajahnya lagi, tiba-tiba adzan maghrib berkumandang. Kami berlalu ke arah yang berbeda. Kali ini aku harus kembali dengan membawa tanya di hati tentang gadis itu.
Selesai shalat maghrib, aku memindahkan foto-foto di kamera.
“Wiiiihhh….. siapa tuh Ris?” tanya Hadi saat melihat foto Zahra
 “Sepertinya aku kenal. Bentar, aku ingat-ingat dulu. Oh iya………”
“Assalamu’alaikum.” terdengar suara seorang perempuan mengucapkan salam dan mengetuk pintu sehingga memotong perkataan Hadi
Hadi membuka pintu seraya menjawab salam.
“Ibu ada Mas?” suaranya terdengar samar
“Ada. Silahkan duduk dulu.” Hadi mempersilahkannya duduk, dan ketika itupun aku tahu jika tamu itu adalah Zahra, gadis yang selalu aku lihat di pantai saat senja menjelang.
“Woy… jangan bengong!” Hadi menegurku
Zahra tersenyum padaku, dengan gugup aku pun hanya membalas senyumnya tanpa basa-basi sedikitpun.
“Mas ini yang waktu itu di pantai ya?” kali ini ia membuka perbincangan kami.
“I….. Iya…. Masih ingat?” tanyaku dengan terbata
Ia mengangguk sambil tersipu malu. Setelah Ibunya Hadi datang, perbincangan kami semakin hangat dan tidak canggung seperti sebelumnya. Ternyata ia seorang pelukis yang selalu mencari inspirasi saat senja di Pantai Carita dan dia mengundang kami untuk menghadiri pameran lukisannya besok. Sayang, besok siang aku harus pulang ke Solo.
Esoknya aku mulai merapikan barang-barang dan bersiap pulang ke Solo. Kamera sudah dijejali dengan foto-foto keren, notebook sudah dikasih oleh-oleh beberapa tulisan, ransel so pasti ada beberapa cendera mata dari keluarga Hadi yang begitu hangat menyambut sang pengelana dari Solo ini.
“Kamu mau pulang sekarang?” tanya Hadi yang berdiri di depan pintu kamar
“Iya.” Jawabku yang sebenarnya masih ingin menghabiskan waktu disini
“Aku harus segera menyelesaikan tulisan dan foto-fotoku.” lanjutku
“Tapi setidaknya penuhi dulu undangan Zahra.” Saran Hadi
Baiklah, sebelum pulang kami mengunjungi pameran lukisan Zahra. Menakjubkan, ternyata ia seorang pelukis yang sangat berbakat. Aku terkesan dengan lukisan Pantai Carita dengan pesona senjanya nan anggun dan megah. Tapi yang lebih membuatku terkesan, ada lukisanku disana yang sedang asyik mengambil foto. Ia hanya tersenyum saat aku pamit. Sungguh hati ini terenyuh, untuk pertama kalinya aku merasa jatuh cinta pada seseorang yang aku temui saat berkelana. Inilah sepenggal kisah yang kubawa dari langit senja di Pantai Carita. Semoga suatu saat nanti aku kan kembali ke tempat ini, menyaksikan kembali langit senja bersamanya.



0 Komentar di Blogger
Silahkan Berkomentar Melalui Akun Facebook Anda
Silahkan Tinggalkan Komentar Anda
Sumber: http://www.seociyus.com/2013/02/cara-membuat-komentar-facebook-keren-di-blog.html#ixzz44aXRQIym Under Creative Commons License: Attribution Non-Commercial Follow us: @SEOCiyus on Twitter

0 comments:

Post a Comment