Sudah berjam-jam aku menaiki
kendaraan umum ini dan itu, semakin jauh dari kota Solo menuju kota di ujung
barat pulau Jawa ini. Dengan bermodalkan niat, ransel yang setia di punggung
dan menenteng kamera, aku memang senang melakukan perjalanan. Aku selalu tertarik
dengan kearifan budaya lokal, keunikan masyarakat serta pesona alam yang
tercipta dari setiap tempat yang aku kunjungi. Aku selalu tertarik dengan setiap
perjalanan yang bisa membawaku pada sisi lain kehidupan. Aku menyukai
petualangan. Karena aku sadar, kita takkan selamanya dininabobokan di zona
nyaman. Kita harus keluar, kita harus berpetualang agar kita lebih mengenal
dunia ini, bukan untuk bersuka ria namun untuk mendekatkan diri dan mengagungi
ciptaan-Nya.
“Faris…..!” terdengar seseorang
memanggil namaku, sesaat setelah aku turun dari bus. Aku melihat ke arah belakang
dan ternyata dugaanku benar.
“Selamat datang di kampung
halamanku.” Hadi mendekat dan mengulurkan tangannya. Ini adalah jabatan kedua
kami setelah sebelumnya Hadi yang berkunjung ke kota Solo.
“Jadi sekarang kamu akan mengajakku
kemana?” tanyaku penasaran
“Sudahlah sekarang kamu istirahat
saja dulu di rumahku. Besok kita mulai petualangan kita.”
Akhirnya
inilah saatnya menikmati suasana alam di kota ini, Pantai Carita Kabupaten
Pandeglang. Ombak laut
yang kecil dan lembut menyapu di sepanjang pantai. Sementara itu di ujung sana
berdiri kokoh Gunung Krakatau, menjadi suguhan yang begitu teduh dipandang
mata. Apalagi saat ini senja menjelang, menambah keanggunan langit dengan
jingga yang mempesona.
Aku terus menyusuri pantai Carita
seorang diri. Tanpa beban yang menghimpit, tanpa lelah yang saling berkejaran
dengan tuntutan, tanpa keluh yang terus bertengkar dengan tujuan. Aku begitu
menikmati semilir angin yang menusuk rongga dada, kubiarkan lelahku ikut
terhempas deburan ombak. Tapi di sisi lain, aku melihat seseorang yang tengah
duduk sambil membawa kertas dan pensil. Aku memperhatikannya dari kejauhan dan
mulai menghampirinya.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.” Ia menjawab
salamku sambil menunduk malu
“Apa yang kau lakukan disini seorang
diri?” tanyaku pelan
“Aku…….. emmm….. aku cuma sedang
menikmati pemandangan disini saja.” jelasnya gugup seraya menyembunyikan kertas
yang ia pegang.
“Aku Faris.” dengan percaya diri aku
mengulurkan tanganku
“Maaf, aku duluan. Assalamu’alaikum.” dia
mengabaikan uluran tanganku
“Wa’alaikumsalam.” jawabku seraya
tersenyum
Dia pun berlalu tanpa memperkenalkan
dirinya. Riuh angin pun mengantarkan gadis berjilbab itu untuk semakin jauh
dariku.
“Woy….. “ Hadi menepuk bahuku dari
belakang
“Kenapa senyam-senyum sendiri?”
ledek Hadi
“Baru kali ini ada perempuan cantik
yang menolak berkenalan dengan Faris.” timpalku
“Ha… ha… makanya jangan kepedean
Mas. Udah ditolak baru tahu rasa.”
Esok hari aku memulai kembali
penjelajahanku. Banten pada masa dulu adalah kota pelabuhan yang sangat ramai.
Tak hanya keindahan pantai yang menjadi daya tarik Banten. Menurutku sejarah
dan kebudayaannya tak kalah menarik. Kali ini Hadi mengajakku ke kampung lebak di tepi Cidanghiyang,
Kecamatan Munjul, Pandeglang, Banten. Ada apa disana? Disanalah tempat
ditemukannya prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanagara, Prasasti Cidanghiyangatau
pada tahun 1947.
Petualanganku
tak berakhir disini saja. Kakiku terus melangkah semangat menyusuri sepanjang
jalan. Lensa kameraku terus membidik objek yang menarik. Hadi pun tak kalah
semangat untuk memperkenalkan kebudayaan Banten. Kami sempat berbincang dengan
paman Hadi yang saat itu tengah menyaksikan rudat, kesenian tradisional khas Banten yang merupakan perpaduan unsur tari,
syair shalawat, yang berpadu dengan tabuhan. Tak hanya itu, Hadi juga
mengajakku untuk menyaksikan debus, pencak silat, Ubrug serta tari Dzikir Saman
Banten.
“Gimana? Masih belum puas?” tanya Hadi
“Masih ada tempat lain yang lebih menarik?” aku mulai
menantangnya
“Sekarang kita menuju ke kaki pegunungan Kendeng. Tapi kamu
tidak lelah?”
“Namanya juga hobi Di. Lumayan kan, beberapa hari disini
dapet banyak informasi, pengalaman, banyak tulisan dan banyak foto keren juga.”
jelasku sambil memperlihatkan kamera
“Ayo naik!” Hadi memberikan salah satu helmnya padaku
Sepanjang perjalanan kami terus berbincang mengenai kota
Banten dan kota-kota lain yang pernah kami kunjungi.
“Kamu gila ya. Kamu sempat ngamen karena kehabisan ongkos?”
Hadi tertawa
“Iya mau gimana lagi. Daripada gak bisa pulang.” timpalku
yang agak berteriak karena suara knalpot motor Hadi semakin terdengar ribut.
Kali
ini Hadi mengajakku ke desa Kanekes kaki pegunungan Kendeng. Perjalanan yang
cukup melelahkan, sekitar 40km dari kota Rangkasbitung. Yuhu….. bener-bener ini
bocah. Dia mengajakku ke pemukiman suku Baduy.
“Rasanya tubuhku lelah.” ucapku
sambil merebahkan badan di kamar Hadi, sepulang penjelajahan hari ini.
Hadi yang sedang membuatkan teh sore
itu, hanya tersenyum.
“Kenapa Di? Ada yang aneh?” tanyaku
heran
“Ternyata kamu bisa capek juga.”
Hadi menuangkan tehnya untukku
“Aku juga manusia biasa Di.” Kami
menikmati teh sambil duduk di balkon yang menghadap ke pantai
Aku segera menaruh cangkir dan
kembali mengambil kamera.
“Hunting foto dulu.” aku bergegas
keluar
“Dasar fotografer, kemana-mana
selalu membawa kamera. Kapan bawa calon istri?” ledek Hadi seraya tertawa kecil
Kali ini senja perlahan terlukis di
kanvas agung Sang Maha Pencipta. Terlihat megah dengan nuansa syahdu menjelang
adzan berkumandang. Entah mengapa, aku selalu merindukan senja seperti ini. Ada
nuansa tentram yang takkan bisa digambarkan oleh apapun. Bidikan lensaku mulai
mengambil beberapa moment indah di senja kali ini. Aku semakin tertarik melihat
anak-anak berlarian sepanjang pantai. Beberapa diantara mereka menghampiriku
dengan malu dan membujukku untuk memotret mereka. Setelah memenuhi keinginan
mereka, aku kembali mencari spot menarik. Tak kusadari, lensaku membidik
seorang berjilbab kurasa tak asing lagi bagiku.
“Dik… kesini!” tanganku melambai
pada seorang anak yang asyik bermain
“Kamu kenal sama kakak yang duduk
disana?” tanyaku
“Oh…. Itu Kak Zahra. Hampir setiap
sore dia kesini untuk menggambar Kak. Wah…. Gambarnya bagus banget Kak.” anak ini terus menceritakan gadis itu dengan
begitu semangat. Sesekali ia memuji gadis itu.
Aku semakin tertarik dan penasaran
dengan sikap pendiamnya. Aku juga penasaran dengan lukisan-lukisannya. Beberapa
kali, aku mengarahkan lensa kameraku padanya. Lalu aku kembali memalingkan
pandanganku pada lautan. Saat akan memotret wajahnya lagi, tiba-tiba adzan
maghrib berkumandang. Kami berlalu ke arah yang berbeda. Kali ini aku harus
kembali dengan membawa tanya di hati tentang gadis itu.
Selesai shalat maghrib, aku memindahkan foto-foto di
kamera.
“Wiiiihhh….. siapa tuh Ris?” tanya
Hadi saat melihat foto Zahra
“Sepertinya aku kenal. Bentar, aku ingat-ingat
dulu. Oh iya………”
“Assalamu’alaikum.” terdengar suara
seorang perempuan mengucapkan salam dan mengetuk pintu sehingga memotong
perkataan Hadi
Hadi membuka pintu seraya menjawab
salam.
“Ibu ada Mas?” suaranya terdengar
samar
“Ada. Silahkan duduk dulu.” Hadi
mempersilahkannya duduk, dan ketika itupun aku tahu jika tamu itu adalah Zahra,
gadis yang selalu aku lihat di pantai saat senja menjelang.
“Woy… jangan bengong!” Hadi
menegurku
Zahra tersenyum padaku, dengan
gugup aku pun hanya membalas senyumnya tanpa basa-basi sedikitpun.
“Mas ini yang waktu itu di pantai
ya?” kali ini ia membuka perbincangan kami.
“I….. Iya…. Masih ingat?” tanyaku
dengan terbata
Ia mengangguk sambil tersipu malu.
Setelah Ibunya Hadi datang, perbincangan kami semakin hangat dan tidak canggung
seperti sebelumnya. Ternyata ia seorang pelukis yang selalu mencari inspirasi
saat senja di Pantai Carita dan dia mengundang kami untuk menghadiri pameran
lukisannya besok. Sayang, besok siang aku harus pulang ke Solo.
Esoknya aku mulai merapikan
barang-barang dan bersiap pulang ke Solo. Kamera sudah dijejali dengan foto-foto keren, notebook sudah
dikasih oleh-oleh beberapa tulisan, ransel so pasti ada beberapa cendera mata
dari keluarga Hadi yang begitu hangat menyambut sang pengelana dari Solo ini.
“Kamu mau pulang sekarang?” tanya
Hadi yang berdiri di depan pintu kamar
“Iya.” Jawabku yang sebenarnya
masih ingin menghabiskan waktu disini
“Aku harus segera menyelesaikan
tulisan dan foto-fotoku.” lanjutku
“Tapi setidaknya penuhi dulu
undangan Zahra.” Saran Hadi
Baiklah, sebelum pulang kami
mengunjungi pameran lukisan Zahra. Menakjubkan, ternyata ia seorang pelukis
yang sangat berbakat. Aku terkesan dengan lukisan Pantai Carita dengan pesona
senjanya nan anggun dan megah. Tapi yang lebih membuatku terkesan, ada
lukisanku disana yang sedang asyik mengambil foto. Ia hanya tersenyum saat aku
pamit. Sungguh hati ini terenyuh, untuk pertama kalinya aku merasa jatuh cinta
pada seseorang yang aku temui saat berkelana. Inilah sepenggal kisah yang
kubawa dari langit senja di Pantai Carita. Semoga suatu saat nanti aku kan
kembali ke tempat ini, menyaksikan kembali langit senja bersamanya.