Wednesday, 20 May 2015

Padang Ilalang dan Rintik Hujan (Kumpulan Cerpen Cinta Pertama)


Kami masih berderet di tengah terik yang mencekik. Kulihat sekelilingku, lalu aku merunduk kembali menahan panas. Ingin kusapa teman-teman yang tetap setia di padang ini, namun kurasa mereka takkan menjawab sapaanku. Mereka pun tengah sibuk bertahan hidup dalam kemarau panjang ini. Aku ingin memalingkan wajah dari terik mentari, namun tetap saja, dari arah mana pun hanya terlihat asap yang timbul dari gesekan daun kami. Sepintas, tak ada klorofil yang menyelinap manis di dedaunan kami. Kami adalah padang ilalang yang mulai  mengering, atau mungkin sebentar lagi akan mati.
“Ya Tuhan…. Kenapa bumi ini semakin panas?” terdengar keluhan temanku yang ada jauh di ujung sana. Suaranya terdengar pilu.
“Mungkin sebentar lagi kita akan terbakar.” sahut temanku yang lain
Mereka mulai bersuara. Sementara aku hanya tertunduk memikirkan nasib kami selanjutnya. Saat kami tumbuh dengan indah, semua datang menghampiri. Tak sedikit pula yang mengabadikan moment indah mereka bersama kami. Tapi saat kami mulai mengering terbakar kemarau panjang, kami tak berarti lagi bagi mereka.
“Hei, Ilalang, kau kenapa?” tanya seekor burung yang hinggap di ranting pohon
Aku hanya terdiam.
“Bersabarlah, kalian tidak akan mati begitu saja.” lanjut burung itu seraya terbang
Pandanganku mengikuti kepakan sayap burung itu hingga kian tak terlihat. Sejauh mata memandang, kulihat lukisan biru yang tergambar di langit tanpa ada mendung pertanda hujan kan turun. Angin mulai menyapa lembut, setidaknya bisa menyejukkan lembaran dedaunan kami yang mulai menguning. Namun tak sedikit diantara teman-temanku yang khawatir. Semakin kencang angin berhembus, kami akan terus bergesekan di tengah panas, bukan hal yang aneh jika percikan api tercipta disini. Ah, aku memalingkan kembali fikiranku dari hal buruk itu. Aku yakin, ada makna indah dibalik kegelisahan dan kesedihan kami.
“Subhanallah Walhamdulillah….” terdengar suara kecil memuji-Nya dari arah belakang padang ilalang kami.
Aku menoleh. Ternyata suara itu terdengar dari dedaunan pohon jati yang berguguran. Daun-daun kering itu dengan riang berguguran. Satu persatu, mereka terbang terbawa angin hingga ada beberapa daun yang sampai di padang ilalang kami. Suara-suara mereka yang menyerukan kebesaran Allah kian terdengar jelas, hingga angin membawa mereka di hadapanku.
“Kenapa kalian begitu bahagia saat kalian berguguran?” tanyaku
“Tidakkah kau tahu? Tak ada satupun kejadian di muka bumi ini yang terlepas dari Kehendak Allah dan tidak ada yang sia-sia dari semua kejadian itu. Bahkan daun yang berguguranpun, adalah karena kuasa-Nya. Ini adalah bukti kasih sayang Allah kepada kami.” jelas salah seorang diantara mereka, sementara yang lain tak henti bertasbih.
“Bukti kasih sayang Allah?” aku semakin tertarik untuk melanjutkan pembicaraan.
“Ya. Inilah cara kami untuk bertahan hidup di musim kemarau. Untuk mengurangi penguapan, kami berguguran agar pohon kami bisa bertahan hidup di tengah kemarau panjang seperti ini. Kami ikhlas jika kami harus berguguran dan menjadi tumpukan dedaunan kering di tanah. Karena kami yakin, setelah ini akan tumbuh daun-daun baru di pohon itu.” jelasnya
“Kalian tidak merasa sedih?” tanyaku
“Tidak sama sekali. Justru kami bahagia dengan siklus seperti ini. Dengan bergugurannya kami, pohon itu akan tetap hidup. Bayangkan saja jika kami tetap memaksakan diri untuk tumbuh di pohon itu, di tengah kemarau dan tidak adanya air, itu hanya akan menyiksa pohon.” lanjut dedaunan kering itu
Aku tersenyum dan mulai mengerti apa maksudnya.
“Mungkin sepintas terkesan tidak menyenangkan karena kami harus dikorbankan. Tapi apa yang kita lihat buruk, tak selamanya buruk menurut Allah. Justru dibalik ini semua Allah telah siapkan rencana yang lebih indah dan lebih baik untuk kita semua.” dedaunan itu mengakhiri perbincangan kami seraya terbang terhembus angin
Kembali kupandang langit dengan segenap kepasrahan pada-Nya. Aku tahu, di sudut bumi yang lain, banyak yang mengharapkan kemarau ini. Banyak pula yang mengambil hikmah dari musim ini. Lalu untuk apa aku terus mengeluh? Aku hanya harus sedikit bersabar untuk melewati musim ini, lalu musim kan berganti dan kami akan bersemi kembali.
Angin terus berhembus perlahan menyentuh sukma pengharapanku. Aku ingin berlari mengejarnya, namun tak pernah sampai. Aku ingin terbang bersama burung, namun tak pernah terwujud. Ya, aku memang tak bisa beranjak dari tanah gersang ini. Aku hanya terpaku memandang apapun yang terjadi di sekelilingku, tanpa bisa menyentuhnya. Aku hanya bisa merasakan ruhnya menembus sukmaku yang kian tandus. Kucoba renungkan makna dibalik lukisan hari ini.
Kali ini aku melihat kupu-kupu dan lebah yang terbang riang. Mereka terbang dengan begitu lincah, dari tanaman satu ke tanaman yang lain. Kini desiran angin pun ditemani nyanyian dari makhluk-makhluk mungil nan cantik itu. Hingga salah satu dari mereka pun hinggap di daunku.
“Apa yang sedang kalian lakukan?” tanyaku penasaran
“Kami sedang menaburkan benih tanaman. Begitu pula yang dilakukan angin, ia menebarkan benang sari dari bunga-bunga, hingga ketika musim penghujan datang akan ada hal menakjubkan yang terjadi di tempat ini. Sudahlah, aku mau melanjutkan tugasku lagi.” jelasnya seraya berlalu
Musim kemarau terus berlangsung. Tapi kini aku melaluinya dengan ikhlas. Beberapa hari kemudian, kurasa ada yang berbeda dengan kanvas hari. Semula terlihat biru meluas dengan terik matahari yang kian meninggi, kini terlihat awan berarak dari upuk barat. Mereka bergerombol bak kapas yang tengah dipintal menjadi benang, terus terseret angin hingga sebagian langit tertutup olehnya. Awan yang semula putih terang, perlahan semakin gelap hingga bumi pun menjadi redup. Gersang kini berganti teduh, cerah kini berganti mendung. Sudah lama tak kulihat lukisan seperti ini.
“Alhamdulillah…. Sepertinya akan turun hujan.” ujar sang belalang
Sementara itu, kudengar sorak sorai dari teman-temanku yang lain di padang ilalang. Mereka berharap, kali ini hujan kan turun. Namun sayang, hujan tak kunjung turun meski langit sudah nampak mendung. Sepertinya kami perlu menunggu beberapa saat lagi hingga gulungan awan itu semakin berat menahan uap air yang dibawanya. Kami tetap menunggu, menunggu dan menunggu. Kerinduan akan hujan, memang nampak jelas dari wajah mereka. Tapi setidaknya, kali ini bumi terasa lebih teduh dari sebelumnya.
“Kenapa hujan belum turun?” keluh tanaman krisan
“Sepertinya kita harus menunggu sebentar lagi, pasti hujan akan turun.” hiburku
“Tapi daunku sudah hampir mengering.” ia menunjukkan daun-daunnya yang layu
“Bersabarlah! Setelah hujan turun, bukan hanya daunmu yang akan tumbuh tapi bungamu juga akan bersemi.” lanjutku yang tak mengalihkan pandangan dari langit
Hari beranjak sore dan kami semua hanya terpaku memandang langit. Detik demi detik penantian kami semakin menumbuhkan pengharapan kami. Hingga akhirnya aku merasakan sejuknya setetes air yang menyapa daunku. Air apa ini? Aku alihkan lagi pandanganku ke langit, lalu kulihat sekelilingku. Ah, yang lain juga tak merasakan tetesan air yang jatuh dari langit. Mungkin ini hanya ilusiku. Tak lama kemudian, aku merasakan tetesan air yang sama. Kali ini berbeda. Ya, ini benar-benar hujan.
“Akhirnyaaaaa…….. “sorak teman-temanku
“Hujaaaaaaaaaannnn………”
“Yuhuuuu………….”
Mereka saling bersahutan, dengan riang gembira menyambut hujan pertama yang turun di musim ini. Akupun menyambutnya dengan syukur dan penuh kebahagiaan. Aku biarkan tetesannya membasahi seluruh tubuhku. Aku biarkan kristal-kristal itu menyentuh hingga ke bagian terdalam akarku. Maha Besar Engkau atas semua yang terjadi di alam semesta ini Yaa Rabb.
“Ilalang…..” sapa sang hujan
“Terimakasih.” ucapku seraya tersenyum dan merundukkan daunku
“Jangan berterimakasih padaku, berterimakasihlah pada Sang Pencipta
Begitu seterusnya rintik hujan itu semakin bertambah, semakin lebat dan semakin menyejukkan. Tak henti kami bertasbih menyebut asma-Nya yang telah mengobati kerinduan kami. Hujan pun terus berlangsung hingga malam hari. Ketika hujan reda, tak ada lagi keluhan yang terdengar, tak ada lagi rintihan dan pengharapan yang tak berujung. Semua hanyut dalam kegembiraan dengan penuh syukur. Semua tentram dalam malam yang dingin. Meski kini tak ada bintang yang menghiasi, namun keceriaan mereka telah menjadi hiasan yang tak terganti.
Hari berganti, pagi menjelang. Nuansa berbeda nampak jelas di pagi yang romantis ini. Embun pagi mendekap kami dengan lembut. Sementara cahaya mentari mulai nampak dari kejauhan, melebur kebekuan pagi. Mentari kian meninggi dan menjatuhkan butir-butir embun, mereka pun melebur bersama tanah yang basah.
Aku melihat hal menakjubkan yang pernah diceritakan sang kupu-kupu. Padang ilalang yang mengering, kini dipenuhi oleh tunas-tunas baru nan hijau. Dari sudut lain, tercium wewangian dari bunga-bunga yang berwarna-warni. Sementara pohon-pohon, mulai bersemi dengan daun-daunnya yang baru. Semua riang dengan warna-warna baru di hari ini. Semua bahagia dengan wangi-wangi bunga yang bersemi. Tak kusangka, keajaiban itu benar-benar terjadi. Hujan pertama di musim ini, merubah keadaan dalam waktu semalam. Dan semua ini terjadi atas Kehendak-Nya.

            Masih ada tetes hujan yang tersisa di daunku. Aku memandang syahdu butirannya yang begitu bening. Hadirnya begitu menyejukkan, mengubah gersang menjadi pelangi kehidupan. Hadirnya begitu menentramkan, mengubah keluh menjadi syukur. Hadirnya begitu berarti, membawa kebahagiaan bagi setiap makhluk. Hadirnya menjadi pelepas rindu, hadirnya menjadi penggugah harapan baru. Aku tanaman ilalang di padang ini. Kini aku akui, jika aku benar-benar jatuh cinta pada rintik hujan pertama di musim ini. Dialah cinta pertama yang menghidupkan kembali harapaku. Kuharap rintik hujan selanjutnya akan membawa kebahagiaan dan keberkahan yang sama seperti hujan kemarin.



*Setangkai cindera hati teruntuk rindu yang setia menanti. Percayalah, jika cinta akan menepi di pelataran hati yang tepat. Goresan sederhana dalam kumpulan cerpen CINTA PERTAMA ini, semoga menjadi penawar rindu itu. (Ran)

0 Komentar di Blogger
Silahkan Berkomentar Melalui Akun Facebook Anda
Silahkan Tinggalkan Komentar Anda
Sumber: http://www.seociyus.com/2013/02/cara-membuat-komentar-facebook-keren-di-blog.html#ixzz44aXRQIym Under Creative Commons License: Attribution Non-Commercial Follow us: @SEOCiyus on Twitter

0 comments:

Post a Comment