Kami masih berderet di tengah terik
yang mencekik. Kulihat sekelilingku, lalu aku merunduk kembali menahan panas.
Ingin kusapa teman-teman yang tetap setia di padang ini, namun kurasa mereka
takkan menjawab sapaanku. Mereka pun tengah sibuk bertahan hidup dalam kemarau
panjang ini. Aku ingin memalingkan wajah dari terik mentari, namun tetap saja,
dari arah mana pun hanya terlihat asap yang timbul dari gesekan daun kami.
Sepintas, tak ada klorofil yang menyelinap manis di dedaunan kami. Kami adalah
padang ilalang yang mulai mengering,
atau mungkin sebentar lagi akan mati.
“Ya Tuhan…. Kenapa bumi ini semakin
panas?” terdengar keluhan temanku yang ada jauh di ujung sana. Suaranya
terdengar pilu.
“Mungkin sebentar lagi kita akan
terbakar.” sahut temanku yang lain
Mereka mulai bersuara. Sementara
aku hanya tertunduk memikirkan nasib kami selanjutnya. Saat kami tumbuh dengan
indah, semua datang menghampiri. Tak sedikit pula yang mengabadikan moment
indah mereka bersama kami. Tapi saat kami mulai mengering terbakar kemarau
panjang, kami tak berarti lagi bagi mereka.
“Hei, Ilalang, kau kenapa?” tanya
seekor burung yang hinggap di ranting pohon
Aku hanya terdiam.
“Bersabarlah, kalian tidak akan
mati begitu saja.” lanjut burung itu seraya terbang
Pandanganku mengikuti kepakan sayap
burung itu hingga kian tak terlihat. Sejauh mata memandang, kulihat lukisan
biru yang tergambar di langit tanpa ada mendung pertanda hujan kan turun. Angin
mulai menyapa lembut, setidaknya bisa menyejukkan lembaran dedaunan kami yang
mulai menguning. Namun tak sedikit diantara teman-temanku yang khawatir.
Semakin kencang angin berhembus, kami akan terus bergesekan di tengah panas, bukan
hal yang aneh jika percikan api tercipta disini. Ah, aku memalingkan kembali
fikiranku dari hal buruk itu. Aku yakin, ada makna indah dibalik kegelisahan
dan kesedihan kami.
“Subhanallah Walhamdulillah….”
terdengar suara kecil memuji-Nya dari arah belakang padang ilalang kami.
Aku menoleh. Ternyata suara itu
terdengar dari dedaunan pohon jati yang berguguran. Daun-daun kering itu dengan
riang berguguran. Satu persatu, mereka terbang terbawa angin hingga ada
beberapa daun yang sampai di padang ilalang kami. Suara-suara mereka yang
menyerukan kebesaran Allah kian terdengar jelas, hingga angin membawa mereka di
hadapanku.
“Kenapa kalian begitu bahagia saat
kalian berguguran?” tanyaku
“Tidakkah kau tahu? Tak ada satupun
kejadian di muka bumi ini yang terlepas dari Kehendak Allah dan tidak ada yang
sia-sia dari semua kejadian itu. Bahkan daun yang berguguranpun, adalah karena
kuasa-Nya. Ini adalah bukti kasih sayang Allah kepada kami.” jelas salah
seorang diantara mereka, sementara yang lain tak henti bertasbih.
“Bukti kasih sayang Allah?” aku
semakin tertarik untuk melanjutkan pembicaraan.
“Ya. Inilah cara kami untuk
bertahan hidup di musim kemarau. Untuk mengurangi penguapan, kami berguguran
agar pohon kami bisa bertahan hidup di tengah kemarau panjang seperti ini. Kami
ikhlas jika kami harus berguguran dan menjadi tumpukan dedaunan kering di tanah.
Karena kami yakin, setelah ini akan tumbuh daun-daun baru di pohon itu.”
jelasnya
“Kalian tidak merasa sedih?”
tanyaku
“Tidak sama sekali. Justru kami
bahagia dengan siklus seperti ini. Dengan bergugurannya kami, pohon itu akan
tetap hidup. Bayangkan saja jika kami tetap memaksakan diri untuk tumbuh di
pohon itu, di tengah kemarau dan tidak adanya air, itu hanya akan menyiksa
pohon.” lanjut dedaunan kering itu
Aku tersenyum dan mulai mengerti
apa maksudnya.
“Mungkin sepintas terkesan tidak
menyenangkan karena kami harus dikorbankan. Tapi apa yang kita lihat buruk, tak
selamanya buruk menurut Allah. Justru dibalik ini semua Allah telah siapkan
rencana yang lebih indah dan lebih baik untuk kita semua.” dedaunan itu
mengakhiri perbincangan kami seraya terbang terhembus angin
Kembali kupandang langit dengan
segenap kepasrahan pada-Nya. Aku tahu, di sudut bumi yang lain, banyak yang
mengharapkan kemarau ini. Banyak pula yang mengambil hikmah dari musim ini. Lalu
untuk apa aku terus mengeluh? Aku hanya harus sedikit bersabar untuk melewati
musim ini, lalu musim kan berganti dan kami akan bersemi kembali.
Angin terus berhembus perlahan
menyentuh sukma pengharapanku. Aku ingin berlari mengejarnya, namun tak pernah
sampai. Aku ingin terbang bersama burung, namun tak pernah terwujud. Ya, aku
memang tak bisa beranjak dari tanah gersang ini. Aku hanya terpaku memandang
apapun yang terjadi di sekelilingku, tanpa bisa menyentuhnya. Aku hanya bisa
merasakan ruhnya menembus sukmaku yang kian tandus. Kucoba renungkan makna dibalik
lukisan hari ini.
Kali ini aku melihat kupu-kupu dan
lebah yang terbang riang. Mereka terbang dengan begitu lincah, dari tanaman
satu ke tanaman yang lain. Kini desiran angin pun ditemani nyanyian dari
makhluk-makhluk mungil nan cantik itu. Hingga salah satu dari mereka pun
hinggap di daunku.
“Apa yang sedang kalian lakukan?”
tanyaku penasaran
“Kami sedang menaburkan benih
tanaman. Begitu pula yang dilakukan angin, ia menebarkan benang sari dari
bunga-bunga, hingga ketika musim penghujan datang akan ada hal menakjubkan yang
terjadi di tempat ini. Sudahlah, aku mau melanjutkan tugasku lagi.” jelasnya
seraya berlalu
Musim kemarau terus berlangsung.
Tapi kini aku melaluinya dengan ikhlas. Beberapa hari kemudian, kurasa ada yang
berbeda dengan kanvas hari. Semula terlihat biru meluas dengan terik matahari
yang kian meninggi, kini terlihat awan berarak dari upuk barat. Mereka
bergerombol bak kapas yang tengah dipintal menjadi benang, terus terseret angin
hingga sebagian langit tertutup olehnya. Awan yang semula putih terang,
perlahan semakin gelap hingga bumi pun menjadi redup. Gersang kini berganti
teduh, cerah kini berganti mendung. Sudah lama tak kulihat lukisan seperti ini.
“Alhamdulillah…. Sepertinya akan
turun hujan.” ujar sang belalang
Sementara itu, kudengar sorak sorai
dari teman-temanku yang lain di padang ilalang. Mereka berharap, kali ini hujan
kan turun. Namun sayang, hujan tak kunjung turun meski langit sudah nampak
mendung. Sepertinya kami perlu menunggu beberapa saat lagi hingga gulungan awan
itu semakin berat menahan uap air yang dibawanya. Kami tetap menunggu, menunggu
dan menunggu. Kerinduan akan hujan, memang nampak jelas dari wajah mereka. Tapi
setidaknya, kali ini bumi terasa lebih teduh dari sebelumnya.
“Kenapa hujan belum turun?” keluh
tanaman krisan
“Sepertinya kita harus menunggu
sebentar lagi, pasti hujan akan turun.” hiburku
“Tapi daunku sudah hampir
mengering.” ia menunjukkan daun-daunnya yang layu
“Bersabarlah! Setelah hujan turun,
bukan hanya daunmu yang akan tumbuh tapi bungamu juga akan bersemi.” lanjutku
yang tak mengalihkan pandangan dari langit
Hari beranjak sore dan kami semua
hanya terpaku memandang langit. Detik demi detik penantian kami semakin
menumbuhkan pengharapan kami. Hingga akhirnya aku merasakan sejuknya setetes
air yang menyapa daunku. Air apa ini? Aku alihkan lagi pandanganku ke langit,
lalu kulihat sekelilingku. Ah, yang lain juga tak merasakan tetesan air yang
jatuh dari langit. Mungkin ini hanya ilusiku. Tak lama kemudian, aku merasakan
tetesan air yang sama. Kali ini berbeda. Ya, ini benar-benar hujan.
“Akhirnyaaaaa…….. “sorak
teman-temanku
“Hujaaaaaaaaaannnn………”
“Yuhuuuu………….”
Mereka saling bersahutan, dengan
riang gembira menyambut hujan pertama yang turun di musim ini. Akupun
menyambutnya dengan syukur dan penuh kebahagiaan. Aku biarkan tetesannya
membasahi seluruh tubuhku. Aku biarkan kristal-kristal itu menyentuh hingga ke
bagian terdalam akarku. Maha Besar Engkau atas semua yang terjadi di alam
semesta ini Yaa Rabb.
“Ilalang…..” sapa sang hujan
“Terimakasih.” ucapku seraya
tersenyum dan merundukkan daunku
“Jangan berterimakasih padaku,
berterimakasihlah pada Sang Pencipta
Begitu seterusnya rintik hujan itu
semakin bertambah, semakin lebat dan semakin menyejukkan. Tak henti kami
bertasbih menyebut asma-Nya yang telah mengobati kerinduan kami. Hujan pun
terus berlangsung hingga malam hari. Ketika hujan reda, tak ada lagi keluhan
yang terdengar, tak ada lagi rintihan dan pengharapan yang tak berujung. Semua
hanyut dalam kegembiraan dengan penuh syukur. Semua tentram dalam malam yang
dingin. Meski kini tak ada bintang yang menghiasi, namun keceriaan mereka telah
menjadi hiasan yang tak terganti.
Hari berganti, pagi menjelang.
Nuansa berbeda nampak jelas di pagi yang romantis ini. Embun pagi mendekap kami
dengan lembut. Sementara cahaya mentari mulai nampak dari kejauhan, melebur
kebekuan pagi. Mentari kian meninggi dan menjatuhkan butir-butir embun, mereka
pun melebur bersama tanah yang basah.
Aku melihat hal menakjubkan yang
pernah diceritakan sang kupu-kupu. Padang ilalang yang mengering, kini dipenuhi
oleh tunas-tunas baru nan hijau. Dari sudut lain, tercium wewangian dari
bunga-bunga yang berwarna-warni. Sementara pohon-pohon, mulai bersemi dengan
daun-daunnya yang baru. Semua riang dengan warna-warna baru di hari ini. Semua
bahagia dengan wangi-wangi bunga yang bersemi. Tak kusangka, keajaiban itu
benar-benar terjadi. Hujan pertama di musim ini, merubah keadaan dalam waktu
semalam. Dan semua ini terjadi atas Kehendak-Nya.
Masih
ada tetes hujan yang tersisa di daunku. Aku memandang syahdu butirannya yang
begitu bening. Hadirnya begitu menyejukkan, mengubah gersang menjadi pelangi
kehidupan. Hadirnya begitu menentramkan, mengubah keluh menjadi syukur.
Hadirnya begitu berarti, membawa kebahagiaan bagi setiap makhluk. Hadirnya
menjadi pelepas rindu, hadirnya menjadi penggugah harapan baru. Aku tanaman
ilalang di padang ini. Kini aku akui, jika aku benar-benar jatuh cinta pada
rintik hujan pertama di musim ini. Dialah cinta pertama yang menghidupkan kembali
harapaku. Kuharap rintik hujan selanjutnya akan membawa kebahagiaan dan
keberkahan yang sama seperti hujan kemarin.
*Setangkai cindera hati teruntuk rindu yang setia menanti. Percayalah, jika cinta akan menepi di pelataran hati yang tepat. Goresan sederhana dalam kumpulan cerpen CINTA PERTAMA ini, semoga menjadi penawar rindu itu. (Ran)