Monday, 1 December 2014

Lembaran Kenangan



Mengapa setiap hujan turun, selalu mengantarku pada bait-bait rindu? Mungkin karena nuansa hujan yang sendu? Atau karena gemerincik air yang syahdu? Ah, mungkin karena terbawa angin yang menelisik hati. Atau mungkin karena benar-benar ada rasa rindu di hati.
Aku yang duduk di dekat jendela kamar, mulai membuka lembaran album foto yang sejak tadi kudekap. Aku perhatian setiap fotonya seakan orang yang ada dalam foto itu berada di dekatku. Seketika, anganku melayang pada kenangan indahku bersamanya, dulu.
***
Namaku Maya. Mahasiswi tingkat akhir jurusan psikologi yang sedang keteteran menyelesaikan skripsi. Setiap hari aku menghabiskan waktu di perpustakaan dengan buku-buku yang tebal, notebook, makalah, ini dan itu yang kadang membuat kepalaku serasa mau pecah. Tahun ini aku harus lulus, titik.
 “Yaa Allah…… “ aku memegang kepalaku dengan gemetar, kemudian tertunduk lesu di salah satu meja baca perpustakaan.
“Kenapa May?” tanya sahabatku Vina
“File nya hilang.” jawabku lesu
“Hah, kok bisa?” Vina mengambil notebook
“Kenapa? Kalian terlihat panik.” Tanya seorang lelaki berkemeja hitam, yang kebetulan melewati mejaku
“Skripsi Maya tiba-tiba hilang Pak.” jelas Vina
Aku hanya diam dengan wajah pucat dan berharap semoga file ku bisa kembali, entah dengan cara apa dan bagaimana. Lelaki itu Pak Andi, salah seorang dosen muda di kampus ini. Dia hanya tersenyum dan dengan tenang menanggapi masalahku.
“Ini filenya.” Pak Andi menunjukkannya padaku
“Lain kali, kalau ada masalah seperti ini jangan langsung panik.” lanjutnya seraya tersenyum dan berpaling dariku.
Singkat cerita, aku telah melewati ujian dan akhirnya aku berhasil menyelesaikan studi S1. Sebagai perayaan, teman-teman fakultas mengajakku menjelajah sambil tafakur alam. Menarik, setelah lelah dengan aktifitas yang membuat tegang, kini aku bisa menikmati suasana pegunungan yang asri. Tak kusangka ternyata Pak Andi juga turut serta dalam pendakian kali ini.
Ini bukan sekedar petualangan pelepas penat, bukan sekedar perayaan kelulusan, tapi ini perjalanan yang tak mungkin bisa kulupakan. Setiap langkahnya adalah perjuangan, setiap detiknya adalah nafas syukur, setiap hembusan anginnya adalah romantisme pertemuanku dengan insan yang ditakdirkan Allah untuk membimbingku.
Aku tak menyangka, pendakian kali ini justru membuatku lebih mengenal Pak Andi. Aku melihat tanggung jawabnya, aku melihat kepemimpinannya, aku melihat kebijaksanaannya dan aku tahu bagaimana cara dia untuk melindungiku tanpa menyentuhku. Entah mengapa, dia selalu berjalan beriringan denganku. Kukira hanya kebetulan, tapi kini aku sadari semuanya tiada yang serba kebetulan. Semuanya adalah skenario indah dari Allah.
Kami sudah selesai mendirikan tenda sebelum senja terlukis. Setelah beristirahat sejenak, kami melanjutkan perjalanan ke puncak yang tak jauh dari lokasi perkemahan kami. Ini memang waktu yang tepat, karena senja akan terlihat lebih indah di atas sana.
“Bagaimana May?” terdengar suara Pak Andi dari arah belakang
“Menakjubkan Pak.” jawabku dengan senyum mengembang
Kami duduk diantara rerumputan sebari menatap senja nan anggun. Saat yang lain larut dengan suka cita, kami hanya terdiam dengan hati yang tak henti mengucap syukur. Perlahan aku mengarahkan pandanganku padanya. Aku tersipu malu melihat senyumnya, lalu ku palingkan lagi pandanganku dan kusibukkan tanganku untuk mengambil foto.
“Ada ketenangan setiap kali kita berada di tengah alam yang jauh dari keramaian.”
“Ya. Saya juga merasakan hal seperti itu Pak.” jawabku sedikit terbata
Pak Andi tertawa, “Ini bukan kampus May, jangan panggil Pak!”
“Ma…. Maaf Pak, tapi rasanya kurang sopan jika tidak memanggil Pak pada dosen sendiri.” Jelasku yang tak berani melihat wajahnya
“Usia kita tidak beda jauh juga kan.” lajutnya
Kami bercerita banyak hal. Kadang aku tertawa mendengar candaannya, kadang aku terharu mendengar kisah perjuangannya yang tak mudah. Aku tak menghiraukan desiran angin yang semakin dingin. Aku rasa, kini seseorang yang duduk di sampingku bukan sekedar dosenku, tapi juga sahabatku. Perjalanan ini memang menuliskan banyak kisah untuk kami.
“Lalu, apa rencanamu sekarang?” tanya Pak Andi
“Menunggu dikhitbah.” jawabku seraya tertawa
“Semoga penantianmu selama ini berujung indah, seindah langit di hari ini.” pungkasnya seraya tersenyum
Tak terasa pagi menjelang. Kicauan burung menyambut kami dengan merdu. Dedaunan hijau melambai dengan sejuk. Kusapa embun pagi nan bening, seraya membisikkan harapan. Aku sempatkan menulis beberapa kenanganku disini dalam sebuah catatan kecil. Catatan kecil itu mungkin tak seberapa, namun semua kisah dan kenanganku disini akan terpatri abadi dalam catatan kehidupanku, dalam hati ini. Saatnya kami kembali, membawa banyak cerita yang begitu manis.
Aku disibukkan kembali dengan pekerjaanku. Dua bulan kemudian Allah mendatangkan kado indah sebagai jawaban atas semua do’a dan penantianku. Ada seseorang yang meminangku dan bersedia menjadi imamku. Tiada yang bisa menolak Kehendak-Nya walau untuk sedetik, tiada yang lebih indah dari rencana-Nya. Tak pernah terfikir sebelumnya jika yang akan menjadi suamiku adalah dosenku sendiri, Andi Nurohman. Dialah imamku, penyempurna separuh agamaku.
Setelah menikah, kami menjalani kehidupan yang sederhana. Kesederhanaan yang mendatangkan kebahagiaan, kesederhanaan yang kian mendekatkan kami.
“Hati-hati Yah.” entah mengapa saat itu aku merasa berat jika harus ditinggalkan sendiri di rumah.
“Bunda kenapa? Kok terlihat cemas gitu? Takut ayah gak kembali lagi ya?” guraunya sambil tertawa kecil
“Dari sekian banyak dosen, kenapa harus Ayah sih yang ditugaskan ke luar kota? Lama lagi.” aku mulai mengeluh
“Dasar manja! Biasanya juga kamu baik-baik saja kalau ditinggal tugas ke luar kota.” Dia memijit hidungku
“Ayah pergi dulu ya. Jaga dirimu baik-baik dan jaga calon anak kita.” lanjutnya seraya mengecup keningku.
Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain melepasnya pergi. Entah mengapa kegelisahan itu tak kunjung pergi. Sampai akhirnya, takdir berkata lain. Suamiku mengalami kecelakaan saat dalam perjalanan. Baru setahun kami dipersatukan, kini Allah telah mengambilnya kembali. Terasa sesak di dada, aku hanya terkulai lemas menyaksikan pemakaman suamiku. Aku tak mengkhawatirkan nasibku, aku hanya memikirkan nasib anak yang ada dalam kandunganku. Hingga akhirnya dua bulan kemudian ia lahir ke dunia ini. Seorang anak laki-laki yang mirip sekali dengan ayahnya. Hadirnya menjadi penawar rindu, tangis dan tawanya menjadi pemecah sunyi hati.
***
Tak terasa airmataku menetes saat membuka foto-foto bersama suamiku dulu. Kenangan itu memang tak bisa terulang kembali, namun akan tetap kujaga dalam hati. Hujan pun reda. Sambil menyeka airmata, aku bereskan kembali album foto itu.
“Bundaaaaaaaa……..” seorang anak 8 tahun memanggil dan memelukku dari belakang
Aku membalikkan badan dan mencium keningnya.
“Bunda nangis ya? Ingat Ayah? Jangan sedih Bunda! Kan kata Bunda, nanti kita bisa ketemu Ayah lagi di syurga.”
Aku tak bisa berkata. Aku hanya bisa memeluk erat anakku dan mengusap kepalanya. Dialah yang bisa menguatkan hatiku selama ini. Meski aku harus menjaga dan memebesarkannya seorang diri, tapi aku tak merasa takut. Meski raganya tak ada disini, namun cintanya akan terus bersama kami. Bersabarlah Nak, semoga kelak kita dipertemukan kembali dengan Ayah, di Syurga-Nya.


Event "Masa Lalu yang Membekas di Hati"
Goresan Pena Publishing

0 Komentar di Blogger
Silahkan Berkomentar Melalui Akun Facebook Anda
Silahkan Tinggalkan Komentar Anda
Sumber: http://www.seociyus.com/2013/02/cara-membuat-komentar-facebook-keren-di-blog.html#ixzz44aXRQIym Under Creative Commons License: Attribution Non-Commercial Follow us: @SEOCiyus on Twitter

0 comments:

Post a Comment