Thursday 5 March 2015

Ketika Mimpi Jadi Kenyataan





Dua tahun berlalu. Kini kakiku kembali melangkah di tanah kelahiranku. Di tengah sesak padat bandara Soekarno Hatta, aku melihat senyum hangat Ibu yang menyambutku bersama dua adik cantikku. Aku berlari meraihnya dengan airmata berderai. Terenyuh, saat Ibu memelukku erat. “Selamat datang anakku.”
Dua tahun aku menempuh hidup di negeri orang untuk meraih cita-citaku sebagai seorang desainer. Meninggalkan Ibu dan adik-adikku, meninggalkan Kota Bogor dan meninggalkan seseorang yang selalu kuharapkan. Suasana bandara ini terasa menyayat ketika hembusan angin mengingatkanku pada dua tahun lalu ketika dia melepasku pergi. Tapi kini tak kulihat dia menjemputku.
Aku pulang bersama Ibu dan adikku menuju rumah sederhana kami di sudut Kota Bogor. Bahagia rasanya bisa berkumpul lagi bersama mereka. Kalau bukan karena beasiswa yang kuraih, aku takkan meninggalkan mereka selama ini.
“Selamat datang Vania.” sambut Laras, sahabatku yang sudah menunggu di depan pintu rumahku
“Laras….” aku terkejut dan berlari untuk memeluknya
“Sudahlah jangan menangis! Selamat ya, kini kamu pulang kesini dengan gelar master.” hiburnya seraya menghapus airmataku dengan jari-jari tangannya yang lembut
“Ayo kita masuk! Ibu sudah masak makanan kesukaanmu.”
Setelah beristirahat, aku tak sabar untuk berbagi cerita dengan Laras.
“Gimana kabar Arif?” pertanyaanku ini membuat Laras terdiam sejenak. Tatapannya semakin membuatku heran.
“Oh iya aku lupa. Tadi aku bawain kamu kue.” dia mengalihkan pembicaraan dengan sedikit gugup
“Ras….” aku memegang kedua tangannya
“Kita lanjutkan lagi besok ya Va.” Matanya mulai berkaca-kaca
Entah apa yang sebenarnya terjadi. Aku mulai resah. Tapi aku hanya bisa memandang hujan dari balik jendela sambil menunggu penjelasan Laras.
“Tapi kenapa Ras? Selama aku disana, dia susah dihubungi. Tadi dia juga nggak jemput ke bandara. Padahal dulu sebelum aku berangkat, dia pernah berjanji satu hal.” aku menunduk hingga tak bisa kutahan lagi airmata itu
“Sebenarnya aku bingung Va. Bagaimana aku bisa mengatakan hal ini? Aku gak sanggup Va.” Laras mulai bicara seraya mengeluarkan sebuah undangan pernikahan dari tas merah marun kesayangannya
Aku semakin bingung. Entah mengapa, kali ini Laras tak seceria sebelumnya. Undangan pernikahan siapa yang dia bawa? Jika itu undangan pernikahannya, seharusnya ia sampaikan dengan berseri, bukan dengan isak tangis. Aku membuka undangan itu, bukan namanya yang tertulis. Tapi nama Arif dan Vania. Iya, itu namaku. Iya, itu nama Arif dan Vania. Kedua nama itu tertulis dengan indah di undangan pernikahan yang sebenarnya belum aku pesan. Iya itu namaku. Tapi sayang, itu bukan Vania Zahratusshifa, namun Vania Syahira.
Aku terkulai lemas dan menjatuhkan undangan itu. Sementara Laras hanya menangis dan berusaha menenangkanku. Kukira Arif akan menungguku pulang, tapi ternyata dia memilih untuk menikah dengan Vania yang lain. Aku tak berkata apapun. Aku hanya menangis dalam pelukan Laras dengan ditemani rintik hujan dan desir angin yang merintih menusuk sukma.
“Sabar ya Va!.” Bisik Laras yang setia menjadi tempatku bersandar
“Bagaimana bisa dia melupakan semua cerita yang belum kami akhiri? Lalu apa dia lupa dengan janjinya? Dia akan menungguku Ras. Dia akan menungguku.”
Tapi aku tak seharusnya larut dalam tangis. Bagaimanapun juga, aku hargai keputusannya tuk memilih yang lain. Aku hadir dalam pernikahannya dengan Vania. Iya, Vania . Tapi bukan aku. Langkahku sedikit ragu ketika suara musik dari gedung tempat pernikahan mereka mulai terekam olehku. Sempat terbayang jika yang mendampinginya di pelaminan bukan Vania itu, tapi aku.
“Selamat ya Rif.” ucapku dengan senyum mengembang, seolah tak terjadi apa-apa. Meski sebenarnya badai hebat tengah berkecamuk dengan kecewa dalam hatiku.
Dia memandangku sendu, “Kapan pulang Va?”
“Dua hari yang lalu. Selamat ya, semoga menjadi keluarga sakinah. Aku akan selalu mendo’akan kalian.” aku segera berlalu dan menarik tangan Laras yang berdiri tepat disampingku
Aku sempat menghentikan langkah, memandangnya kembali. Dia pun hanya bisa memandangku dari kejauhan. Dulu aku pernah bermimpi jika namaku dan namanya akan tertulis indah dalam undangan pernikahan dan akan disatukan dalam buku pernikahan. Dulu aku pernah bermimpi jika Vania akan mendampingi Arif dalam meneruskan perjuangan hidup. Dan kini mimpi itu menjadi kenyataan. Arif dan Vania telah bersanding, meski sebenarnya itu bukan aku.



Kontributor naskah "Ditinggal Nikah"
Arsha Teen 


0 Komentar di Blogger
Silahkan Berkomentar Melalui Akun Facebook Anda
Silahkan Tinggalkan Komentar Anda
Sumber: http://www.seociyus.com/2013/02/cara-membuat-komentar-facebook-keren-di-blog.html#ixzz44aXRQIym Under Creative Commons License: Attribution Non-Commercial Follow us: @SEOCiyus on Twitter

0 comments:

Post a Comment