Aku tak tahu, dari mana kuharus memulai kata dalam sepucuk surat ini. Aku memulainya dengan nafas tak teratur, sesak di dada. Aku memulainya dengan segenggam harapan yang kian melemah, namun kucoba kuatkan kembali genggaman itu agar harapanku tak hilang melalui sela jari-jariku yang kian melemah. Aku memulainya dengan setitis airmata pengharapan, airmata rindu.
Semula aku tak mengerti apa yang
tersirat di balik airmata, luka dan langkah yang tertatih. Semula aku tak
mengerti apa yang terjadi dibalik jalan yang berliku. Kurasa semua teramat
pahit tuk dilukiskan dalam kepayahan. Bahkan untuk mengukirkan rasa di hati
saja, hanya ada getar di dada. Terkadang semuanya terlalu sulit untuk
dimengerti, namun tetap harus dijalani.
Semula hatiku berontak melawan dimensi
kehidupan yang kian tak kumengerti. Aku kesal, aku kecewa, aku tak tahu apa
yang harus kulakukan untuk melerai semuanya. Luka yang lama kian terasa sakit,
sementara luka baru datang menyayat lebih dalam. Aku melihat duri sepanjang
jalanku. Aku melihat kabut menutupi pandanganku. Tak kulihat pijar cahaya yang
sudi memapahku menuju jalan terang dan lapang. Tak kulihat dinding kokoh yang
bersedia menahan punggungku yang lelah. Tak kulihat pundak yang bersedia
menjadi tempat bersandar dan tempat dimana aku menangkupkan wajah dan menangis.
Tak ada kata-kata manis untuk sekedar menghibur hatiku. Tak ada tangan-tangan
hangat yang mengusap pipiku. Kemanakah mereka yang dulu selalu ada disini?
Hatiku mulai bertanya-tanya. Saat
semua pergi, adakah yang tetap setia menemani? Saat yang lain tak percaya,
masih adakah yang tetap mendengarkanku? Saat yang lain tak peduli, masih adakah
yang ikhlas berbagi? Dalam resah, kucoba mencari jawabnya. Dalam pasrah, kucoba
tenangkan luka yang telah lama kubawa berlari.
Saat gelap, mungkin tak terlihat
dinding kokoh penyangga tubuh ataupun tangan hangat yang menghapus airmata.
Namun saat gelap, masih ada sajadah yang menanti di sudut kamar ini. Dalam
sujud, kupasrahkan semua pada-Mu Yaa Rabb. Dalam do’a di sepertiga malam
terakhir, aku curahkan semuanya pada-Mu. Tak ada lagi airmata yang tersembunyi.
Perlahan aku mulai menyadari apa
yang terjadi. Ya Rabb…. Kini aku sadar, semua ini bukti kasih sayang dari-Mu.
Jika aku tak pernah mengalami kepayahan dalam hidup, mungkin aku lupa arti
perjuangan. Jika aku tak pernah mengalami kegagalan, mungkin aku lupa bagaimana
caranya berhati-hati. Jika aku tak pernah terjatuh, mungkin aku lupa caranya
untuk bangkit. Jika aku tak pernah berduka, mungkin aku lupa cara bersyukur di
kala suka. Jika aku tak pernah sendiri, mungkin aku lupa caranya untuk menjaga
mereka. Jika aku tak pernah terluka, mungkin aku akan lupa bagaimana caranya
menjaga hati mereka.
Aku teringat pada kupu-kupu. Saat
ia menjadi ulat, betapa ia dibencinya oleh banyak orang. Saat bermetamorfosis,
ia harus terkurung berminggu-minggu sebelum akhirnya ia menjadi kupu-kupu yang
indah dan disukai banyak orang. Aku pun teringat pada kerang di laut. Untuk
mendapatkan mutiara yang indah, ia harus menahan sakit karena pasir yang
mengendap ditubuhnya. Bahkan sebilah besipun harus dibakar dan dipukul-pukul
untuk menjadi pedang yang tajam. Atau mungkin dengan kisah sebatang pensil yang
menahan sakitnya rautan agar ia runcing kembali.
Semua itu mengingatkanku akan satu
hal. Hidup tak selamanya indah di mata, tapi akan selamanya indah untuk hidup
kita. Apa yang terlihat menyakitkan, justru itulah yang dipersiapkan Allah
untuk menjadikan kita insan yang istimewa. Melalui ujian-Nya, Allah memberikan
Rahmat dan Ampunan-Nya. Melalui ujian-Nya, Allah menitipkan sepucuk kasih
sayang-Nya untuk jiwa-jiwa yang merindukan-Nya.
Rabbi…. Betapa lemahnya diri ini
yang selalu mengeluh dan berputus asa. Betapa hinanya diri ini, sepanjang jalan
hanya kulukis noda. Yaa Rabb…. Terimalah sepucuk do’a dari seorang hamba yang
selalu merindukan Kasih-Mu ini. Mohon ampunkanlah diri ini dari segala dosa,
kelalaian dan prasangka buruk terhadap-Mu. Kuatkanku dalam mengarungi hidup
ini, ikhlaskanku dalam menjalani setiap episode kehidupan yang Engkau
persiapkan. Sabarkanlah hamba dalam ujian-Mu dan dalam beribadah kepada-Mu.
Anugrahkan ketenangan hati untuk bisa memahami hikmah yang terselip dibalik suka
dan duka. Dalam sujud kepasrahanku pada-Mu, semakin terasa dekapan-Mu
menghangatkan jiwa ini. Dalam do’a malamku pada-Mu, kian terasa syahdu hati
menyebut asma-Mu. Dalam rindu, dalam pengharapan, dalam keyakinanku pada-Mu,
kian terasa ringan beban yang menghimpit. Semakin dalam, aku larut dalam do’a.
Saat itu pula semakin kusadari, hanya Engkau tempat bersandar, hanya Engkau
tempat mengadu dan hanya pada-Mu aku akan kembali. Hanya Engkau yang setia
membersamai. Cukuplah Engkau bagiku.
Kontributor naskah event "Kata Hati"
BPN Publishing