Sunday 8 March 2015

Prewedd Sang Mantan





Hujan masih menemani sepi hatiku. Bulirnya menembus sukma yang lama tertidur dalam gersang yang mencekik nadi. Bukan. Bukan sekedar bulir hujan yang menemani kesendirian jiwa ini. Bukan sekedar rintik yang menusuk meliuk dalam rongga kehausan. Hujan ini telah bercampur airmata rindu yang kian menghimpit jiwa.
“Sahira!” teriakan Ibu membangunkanku dari lamunan syahdu dari balik jendela kamar sebari memandang hujan di luar sana
“Iya Bu.” jawabku seraya menghapus airmata
“Bukannya hari ini kamu ada pekerjaan?” tanya Ibu yang kini duduk di sebelahku
“Nunggu hujan reda Bu. Sekarang pemotretannya di luar.” aku mulai mengalihkan perhatian pada kameraku
“Hey, kamu menangis?” kali ini Ibu memandang tajam wajahku
“Kelilipan Bu.” elakku sambil mengedip-ngedip mata
“Ya sudah. Ibu ke dapur dulu.”
Sepertinya Ibu mengerti jika saat ini aku hanya ingin sendiri. Bahkan dia tahu tangisan yang selalu kusembunyikan darinya. Kembali kuperhatikan hujan yang ditemani sayup harapan yang kian menghilang. Kuberharap hujan kan segera reda, hingga kedipan cahaya mentari kan muncul meregangkan kakunya sendi-sendi hari tuk hadirkan pelangi. Pelangi yang akan merayu kuncup-kuncup melati. Pelangi yang akan menggelitik sang kepompong dari tidur panjangnya. Namun apa daya, hujan kali ini cukup membuat aku dan kameraku lama menunggu.
Kubuka syair-syair rindu yang tersimpan indah di folder kenanganku. Kubuka satu persatu puisi dan lagu yang sempat ia tuliskan untukku.


Rinduku masih terkurung dalam relung
Berteriak menembus batas
Batas yang tak pernah kumengerti
Waktu mengajarkanku tuk menunggu
Menunggu hati yang ingin kulalui
Rasa mengajarkanku kesabaran
Kesabaran tuk mencintaimu dalam harapan
Aku tak bisa berkata pada dunia tentang cintaku
Tapi kuhanya bisa memohon pada pemilik-Nya
Inilah aku dengan cintaku untukmu
Cinta dalam do’a
Ah, liukan aksara penggugah sukma ini membuat bola mataku kembali memerah hingga melebur sudah kebekuannya. Lagi lagi, airmataku tumpah. Semakin menyayat ketika kuingat itulah tulisan terakhir yang dia kirimkan untukku. Semakin sesak ketika kuncup itu harus gugur sebelum bermekaran. Ardi. Dialah pemuda yang selalu mengirimkan bait-bait yang beterbangan membawa benih rindu yang kini tertanam di hatiku. Dialah pemuda yang sempat  mengenalku dengan rasa yang tak biasa.
Hujan reda. Kini aku bergegas menuju sebuah villa di kota Bandung. Siang ini langit begitu syahdu menggandeng awan. Sejuk memang, namun hati tetap berkobar dalam gersang.
“Kamu sudah siap?” tanya Farah, rekan kerjaku
“Iya.” jawabku singkat tanpa melihat wajahnya
“Jangan gitu dong Ra. Kamu yang sabar ya.” Farah mulai mendekatiku
Aku hanya tersenyum saat memandang wajahnya.
“Bagaimana bisa aku tetap tertawa melihat Ardi bersama yang lain? Dulu dia mendekatiku. Dia memberikan harapan seakan dia akan mewujudkan harapan itu. Tapi ternyata, dia hanya mendekatiku untuk bisa mendapatkan Gita. Dan sekarang aku harus jadi fotografer di prewedd mereka, Fa.” aku mulai berkaca-kaca
“Semua kata-kata manisnya padaku ternyata palsu. Semua kata-kata manisnya hanya untuk membuatku simpati. Lalu dia begitu saja meninggalkanku, setelah dia mendapatkan Gita.” aku menengadah menahan airmata
“Kamu yang sabar ya Ra.” Farah memelukku
Ardi dan Gita telah siap. Inilah prewedd mereka. Konsep prewedd yang sebelumnya pernah aku bicarakan dengan Ardi. Ternyata konsep prewedd itu bukan untuk bersamaku, tapi untuk bersamanya. Jika saja sejak dulu kau katakana jika kau cinta dia, mungkin aku takkan berharap lebih padamu.
“Fa, kita pindah ke jembatan sebelah sana!” ucapku ketus
“Siap, Ra.” Farah mengarahkan Ardi dan Gita untuk pindah lokasi pemotretan.
Aku tak bisa protes apa-apa, toh ini sudah menjadi keputusan Ardi untuk memilih Gita. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku marah. Aku kecewa. Ingin rasanya aku lempar kamera dan mengobrak-abrik tempat prewedd ini. Tapi aku masih sadar. Ini pekerjaanku dan aku harus professional. Aku hilangkan semua emosi yang memenuhi fikiran dan menguasai hati. Aku hilangkan masa lalu yang hanya membuatku terperosok.
“Kalau gini gimana Ra?” tanya Farah yang sibuk mengatur gaya paling romantis Ardi dan Gita
Aku acungkan jempol dan memulai kembali pemotretan. Masih ada cemburu yang menyelinap. Seandainya saja kau jujur padaku. Jika cinta dia, dulu tak usah kau tanamkan harapan padaku. Jika cinta dia, tak usah kau berpura-pura manis di hadapanku. Aku coba tuk tersenyum mengikhlaskan semuanya. Karena kuyakin, luka ini akan segera sembuh.
“Kalian pasangan yang serasi.” pujiku dengan senyum mengembang.