Hujan
masih menemani sepi hatiku. Bulirnya menembus sukma yang lama tertidur dalam
gersang yang mencekik nadi. Bukan. Bukan sekedar bulir hujan yang menemani
kesendirian jiwa ini. Bukan sekedar rintik yang menusuk meliuk dalam rongga
kehausan. Hujan ini telah bercampur airmata rindu yang kian menghimpit jiwa.
“Sahira!”
teriakan Ibu membangunkanku dari lamunan syahdu dari balik jendela kamar sebari
memandang hujan di luar sana
“Iya
Bu.” jawabku seraya menghapus airmata
“Bukannya
hari ini kamu ada pekerjaan?” tanya Ibu yang kini duduk di sebelahku
“Nunggu
hujan reda Bu. Sekarang pemotretannya di luar.” aku mulai mengalihkan perhatian
pada kameraku
“Hey,
kamu menangis?” kali ini Ibu memandang tajam wajahku
“Kelilipan
Bu.” elakku sambil mengedip-ngedip mata
“Ya
sudah. Ibu ke dapur dulu.”
Sepertinya
Ibu mengerti jika saat ini aku hanya ingin sendiri. Bahkan dia tahu tangisan
yang selalu kusembunyikan darinya. Kembali kuperhatikan hujan yang ditemani
sayup harapan yang kian menghilang. Kuberharap hujan kan segera reda, hingga
kedipan cahaya mentari kan muncul meregangkan kakunya sendi-sendi hari tuk
hadirkan pelangi. Pelangi yang akan merayu kuncup-kuncup melati. Pelangi yang
akan menggelitik sang kepompong dari tidur panjangnya. Namun apa daya, hujan
kali ini cukup membuat aku dan kameraku lama menunggu.
Kubuka
syair-syair rindu yang tersimpan indah di folder kenanganku. Kubuka satu
persatu puisi dan lagu yang sempat ia tuliskan untukku.
Rinduku masih terkurung
dalam relung
Berteriak menembus
batas
Batas yang tak pernah
kumengerti
Waktu mengajarkanku tuk
menunggu
Menunggu hati yang
ingin kulalui
Rasa mengajarkanku
kesabaran
Kesabaran tuk
mencintaimu dalam harapan
Aku tak bisa berkata
pada dunia tentang cintaku
Tapi kuhanya bisa
memohon pada pemilik-Nya
Inilah aku dengan
cintaku untukmu
Cinta dalam do’a
Ah,
liukan aksara penggugah sukma ini membuat bola mataku kembali memerah hingga
melebur sudah kebekuannya. Lagi lagi, airmataku tumpah. Semakin menyayat ketika
kuingat itulah tulisan terakhir yang dia kirimkan untukku. Semakin sesak ketika
kuncup itu harus gugur sebelum bermekaran. Ardi. Dialah pemuda yang selalu
mengirimkan bait-bait yang beterbangan membawa benih rindu yang kini tertanam
di hatiku. Dialah pemuda yang sempat mengenalku dengan rasa yang tak biasa.
Hujan
reda. Kini aku bergegas menuju sebuah villa di kota Bandung. Siang ini langit
begitu syahdu menggandeng awan. Sejuk memang, namun hati tetap berkobar dalam
gersang.
“Kamu
sudah siap?” tanya Farah, rekan kerjaku
“Iya.”
jawabku singkat tanpa melihat wajahnya
“Jangan
gitu dong Ra. Kamu yang sabar ya.” Farah mulai mendekatiku
Aku
hanya tersenyum saat memandang wajahnya.
“Bagaimana
bisa aku tetap tertawa melihat Ardi bersama yang lain? Dulu dia mendekatiku. Dia
memberikan harapan seakan dia akan mewujudkan harapan itu. Tapi ternyata, dia
hanya mendekatiku untuk bisa mendapatkan Gita. Dan sekarang aku harus jadi
fotografer di prewedd mereka, Fa.” aku mulai berkaca-kaca
“Semua
kata-kata manisnya padaku ternyata palsu. Semua kata-kata manisnya hanya untuk
membuatku simpati. Lalu dia begitu saja meninggalkanku, setelah dia mendapatkan
Gita.” aku menengadah menahan airmata
“Kamu
yang sabar ya Ra.” Farah memelukku
Ardi
dan Gita telah siap. Inilah prewedd mereka. Konsep prewedd yang sebelumnya
pernah aku bicarakan dengan Ardi. Ternyata konsep prewedd itu bukan untuk
bersamaku, tapi untuk bersamanya. Jika saja sejak dulu kau katakana jika kau
cinta dia, mungkin aku takkan berharap lebih padamu.
“Fa,
kita pindah ke jembatan sebelah sana!” ucapku ketus
“Siap,
Ra.” Farah mengarahkan Ardi dan Gita untuk pindah lokasi pemotretan.
Aku
tak bisa protes apa-apa, toh ini sudah menjadi keputusan Ardi untuk memilih
Gita. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku marah. Aku kecewa. Ingin rasanya aku
lempar kamera dan mengobrak-abrik tempat prewedd ini. Tapi aku masih sadar. Ini
pekerjaanku dan aku harus professional. Aku hilangkan semua emosi yang memenuhi
fikiran dan menguasai hati. Aku hilangkan masa lalu yang hanya membuatku
terperosok.
“Kalau
gini gimana Ra?” tanya Farah yang sibuk mengatur gaya paling romantis Ardi dan
Gita
Aku
acungkan jempol dan memulai kembali pemotretan. Masih ada cemburu yang
menyelinap. Seandainya saja kau jujur padaku. Jika cinta dia, dulu tak usah kau
tanamkan harapan padaku. Jika cinta dia, tak usah kau berpura-pura manis di
hadapanku. Aku coba tuk tersenyum mengikhlaskan semuanya. Karena kuyakin, luka
ini akan segera sembuh.
“Kalian
pasangan yang serasi.” pujiku dengan senyum mengembang.
:v
ReplyDelete