Senja menjelma dalam leburnya sang
biru yang damai. Hanya ada desir angin merintih dalam peluk sang langit. Jingga
merona. Berselangan dengan birunya langit yang enggan terlelap. Syahdu.
Sementara awan beriring menuju ufuk barat untuk menyelimuti sore. Nyanyian
dedaunanpun bersahutan dengan ranting yang mulai mengering.
“Bunda…..” panggil putriku sambil
berlari membawa buku gambarnya
“Iya sayang.” aku yang duduk di
depan laptop, segera membalikkan badan dan memeluknya
“Pelangi punya tugas. Bantuin ya
Bunda.” kata putriku yang merayu manja
Aku yang dari tadi disibukkan
dengan kerjaan kantor sambil memandang senja, tentu saja menyimpan pekerjaanku
untuk membantu Pelangi mengerjakan tugas menggambarnya.
“Pelangi mau menggambar apa sayang?”
tanyaku sambil mengelus rambut bidadari kecilku yang baru genap 7 tahun ini.
“Hmmmm... Gini Bunda. Kata Bu Gea,
kita harus ngegambar anggota keluarga.” jelas Pelangi agak cemberut
“Lho, kok anak bunda cemberut gitu?
Jelek tahu! Masa bidadari kecilnya Bunda jelek gini. Pipinya tambah tembem gini
lagi.”
“Ayah kapan pulang?” tanya Pelangi
pelan. Ia tertunduk.
“Pelangi, kamu kangen ayah Nak?”
aku memeluknya
Pelangi hanya mengangguk sambil
terisak. Lalu kubuka album foto keluarga kami.
“Ini Ayah dan Bunda waktu kami
menikah. Lalu ini, waktu Bunda sedang mengandung kamu sayang.” aku menunjukkan
satu per satu foto dalam album itu
“Ini foto waktu Pelangi TK ya
Bunda? Ayah lucu ya Bun. Masa pakai topi Pelangi kayak gitu. Kan Ayah bukan
anak TK.” Pelangi mulai tersenyum
“Ini Ayah lagi dimana Bun?”
“Oh, ini waktu Ayah lagi di
Thailand.”
“Thailand itu dimana Bunda?” tanya
Pelangi penasaran
“Thailand itu di luar negeri. Jauh
sekali dari rumah kita. Kalau Pelangi mau kesana, Pelangi harus naik pesawat
terbang. Wih, Pelangi hebat ya kalau bisa ke luar negeri.” hiburku
“Iya dong Bunda. Pelangi mau
seperti Ayah.” lanjut Pelangi, sambil terus melihat foto-foto Ayahnya
Senyumku mulai bekembang, melihat
tawa Pelangi. Dia bukan hanya puteri kecilku yang pintar dan cantik. Pelangi adalah
penawar dukaku dan pelengkap hidupku. Rasanya tak ada yang lebih membahagiakan
selain melihat tawanya. Tapi, aku selalu sedih jika puteriku meneteskan
airmata.
“Bunda, kata Bude Ayah gak akan
pulang ya Bun?” kali ini Pelangi menutup album foto dan kembali menanyakan
ayahnya
Ada sesak di dada. Aku terdiam
sejenak sambil menahan airmata dan pedihnya hati. Mata Pelangi mulai
berkaca-kaca. Ia memelukku erat dan kembali terisak. Sementara airmataku turut
berderai. Rabb, mohon kuatkan hamba.
“Iya Nak. Ayah sudah bahagia disana.
Allah sayang sekali sama Ayah, jadi Allah ingin Ayah segera pulang. Disana Ayah
menunggu kita. Kalau Pelangi kangen sama Ayah, Pelangi do’aian Ayah ya.” Aku mulai
menghapus airmata Pelangi
“Tapi Pelangi ingin Ayah pulang ke
rumah. Pelangi kangen Ayah.”
“Suatu saat nanti, kita akan ketemu
lagi sama Ayah.” aku memeluk Pelangi erat
Pelangi memang belum bisa menerima
kepergian Ayahnya setahun yang lalu. Ya, setahun yang lalu saat kami menunggu
ayah di senja yang indah dan teramat istimewa bagi kami, kami menerima kabar
buruk. Karena hari itu tepat hari ulang tahun pernikahan kami. Namun kabar itu
tiba-tiba mengoyak hati kami. Suamiku kecelakaan saat ia sedang berada dalam
perjalanan pulang.
Setelah kepergiannya, aku harus
membesarkan Pelangi seorang diri. Namun aku yakin, tiada kejadian yang sia-sia.
Kucoba arungi hidup dengan mozaik sabar dan keikhlasan. Aku tetap melangkah
dalam kepayahan. Meski tertatih, tapi aku harus bangkit demi puteri kecilku.
“Lihat sayang, di luar sana indah
sekali.” Aku mengajak Pelangi ke teras
“Iya Bunda. Ada pelangi.” pelangi
mulai menghapus airmatanya
“Indah ya, ada pelangi saat senja.
Seperti Pelangi anaknya Bunda. Indah dan selalu membuat Bunda bahagia.”
Senja merona, bermanja dengan
warna-warni pelangi. Warna yang menjadi isyarat penguat rasa. Warna pelangi yang
menjadi pelipur rindu sang jingga dalam sukma semesta. Seperti halnya anakku. Dia
adalah Pelangi untukku, untuk hidupku. Kini dan nanti, bahkan bukan sekedar
pelangi dalam senja hari ini. Namun akan tetap menjadi pelangi penghapus
airmata dan penguat jiwa, hingga usiaku senja.
Aku terdiam dalam tentramnya.
Menikmati lukisan menakjubkan yang tak pernah bisa terlukis dalam kanvas. Ada
pelangi dalam senja. Ada Pelangi dalam hatiku. Semuanya terlalu indah untuk
sekedar dituliskan dengan tinta. Hanya nafas syukur yang bisa menggambarkan betapa
indahnya langit senja dan betapa bahagianya aku memiliki Pelangi.
Kontributor Naskah Event Pelangi AE Publishing