Sunday 22 March 2015

Pelangi dalam Senja



Senja menjelma dalam leburnya sang biru yang damai. Hanya ada desir angin merintih dalam peluk sang langit. Jingga merona. Berselangan dengan birunya langit yang enggan terlelap. Syahdu. Sementara awan beriring menuju ufuk barat untuk menyelimuti sore. Nyanyian dedaunanpun bersahutan dengan ranting yang mulai mengering.
“Bunda…..” panggil putriku sambil berlari membawa buku gambarnya
“Iya sayang.” aku yang duduk di depan laptop, segera membalikkan badan dan memeluknya
“Pelangi punya tugas. Bantuin ya Bunda.” kata putriku yang merayu manja
Aku yang dari tadi disibukkan dengan kerjaan kantor sambil memandang senja, tentu saja menyimpan pekerjaanku untuk membantu Pelangi mengerjakan tugas menggambarnya.
“Pelangi mau menggambar apa sayang?” tanyaku sambil mengelus rambut bidadari kecilku yang baru genap 7 tahun ini.
“Hmmmm... Gini Bunda. Kata Bu Gea, kita harus ngegambar anggota keluarga.” jelas Pelangi agak cemberut
“Lho, kok anak bunda cemberut gitu? Jelek tahu! Masa bidadari kecilnya Bunda jelek gini. Pipinya tambah tembem gini lagi.”
“Ayah kapan pulang?” tanya Pelangi pelan. Ia tertunduk.
“Pelangi, kamu kangen ayah Nak?” aku memeluknya
Pelangi hanya mengangguk sambil terisak. Lalu kubuka album foto keluarga kami.
“Ini Ayah dan Bunda waktu kami menikah. Lalu ini, waktu Bunda sedang mengandung kamu sayang.” aku menunjukkan satu per satu foto dalam album itu
“Ini foto waktu Pelangi TK ya Bunda? Ayah lucu ya Bun. Masa pakai topi Pelangi kayak gitu. Kan Ayah bukan anak TK.” Pelangi mulai tersenyum
“Ini Ayah lagi dimana Bun?”
“Oh, ini waktu Ayah lagi di Thailand.”
“Thailand itu dimana Bunda?” tanya Pelangi penasaran
“Thailand itu di luar negeri. Jauh sekali dari rumah kita. Kalau Pelangi mau kesana, Pelangi harus naik pesawat terbang. Wih, Pelangi hebat ya kalau bisa ke luar negeri.” hiburku
“Iya dong Bunda. Pelangi mau seperti Ayah.” lanjut Pelangi, sambil terus melihat foto-foto Ayahnya
Senyumku mulai bekembang, melihat tawa Pelangi. Dia bukan hanya puteri kecilku yang pintar dan cantik. Pelangi adalah penawar dukaku dan pelengkap hidupku. Rasanya tak ada yang lebih membahagiakan selain melihat tawanya. Tapi, aku selalu sedih jika puteriku meneteskan airmata.
“Bunda, kata Bude Ayah gak akan pulang ya Bun?” kali ini Pelangi menutup album foto dan kembali menanyakan ayahnya
Ada sesak di dada. Aku terdiam sejenak sambil menahan airmata dan pedihnya hati. Mata Pelangi mulai berkaca-kaca. Ia memelukku erat dan kembali terisak. Sementara airmataku turut berderai. Rabb, mohon kuatkan hamba.
“Iya Nak. Ayah sudah bahagia disana. Allah sayang sekali sama Ayah, jadi Allah ingin Ayah segera pulang. Disana Ayah menunggu kita. Kalau Pelangi kangen sama Ayah, Pelangi do’aian Ayah ya.” Aku mulai menghapus airmata Pelangi
“Tapi Pelangi ingin Ayah pulang ke rumah. Pelangi kangen Ayah.”
“Suatu saat nanti, kita akan ketemu lagi sama Ayah.” aku memeluk Pelangi erat
Pelangi memang belum bisa menerima kepergian Ayahnya setahun yang lalu. Ya, setahun yang lalu saat kami menunggu ayah di senja yang indah dan teramat istimewa bagi kami, kami menerima kabar buruk. Karena hari itu tepat hari ulang tahun pernikahan kami. Namun kabar itu tiba-tiba mengoyak hati kami. Suamiku kecelakaan saat ia sedang berada dalam perjalanan pulang.
Setelah kepergiannya, aku harus membesarkan Pelangi seorang diri. Namun aku yakin, tiada kejadian yang sia-sia. Kucoba arungi hidup dengan mozaik sabar dan keikhlasan. Aku tetap melangkah dalam kepayahan. Meski tertatih, tapi aku harus bangkit demi puteri kecilku.
“Lihat sayang, di luar sana indah sekali.” Aku mengajak Pelangi ke teras
“Iya Bunda. Ada pelangi.” pelangi mulai menghapus airmatanya
“Indah ya, ada pelangi saat senja. Seperti Pelangi anaknya Bunda. Indah dan selalu membuat Bunda bahagia.”
Senja merona, bermanja dengan warna-warni pelangi. Warna yang menjadi isyarat penguat rasa. Warna pelangi yang menjadi pelipur rindu sang jingga dalam sukma semesta. Seperti halnya anakku. Dia adalah Pelangi untukku, untuk hidupku. Kini dan nanti, bahkan bukan sekedar pelangi dalam senja hari ini. Namun akan tetap menjadi pelangi penghapus airmata dan penguat jiwa, hingga usiaku senja.
Aku terdiam dalam tentramnya. Menikmati lukisan menakjubkan yang tak pernah bisa terlukis dalam kanvas. Ada pelangi dalam senja. Ada Pelangi dalam hatiku. Semuanya terlalu indah untuk sekedar dituliskan dengan tinta. Hanya nafas syukur yang bisa menggambarkan betapa indahnya langit senja dan betapa bahagianya aku memiliki Pelangi.

Kontributor Naskah Event Pelangi AE Publishing

0 Komentar di Blogger
Silahkan Berkomentar Melalui Akun Facebook Anda
Silahkan Tinggalkan Komentar Anda
Sumber: http://www.seociyus.com/2013/02/cara-membuat-komentar-facebook-keren-di-blog.html#ixzz44aXRQIym Under Creative Commons License: Attribution Non-Commercial Follow us: @SEOCiyus on Twitter

0 comments:

Post a Comment